Cileungsi, SuaraBotim.com _ Soal pungutan liar (pungli) yang terjadi di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Cileungsi mendapat perhatian serius dari Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Bogor, H. Achmad Fathoni.
“Saya mendapat informasi bahwa kasus ini sudah dibawa ke Aparat Penegak Hukum (APH). Jadi kita serahkan saja prosesnya ke sana, jika terbukti melanggar, tentu harus dipertanggungjawabkan di depan hukum, dan putusannya kita tunggu dari pengadilan,” ujar H. Achmad Fathoni kepada SuaraBotim.com di Cileungsi, Jumat (18/1/25).
Politisi PKS tersebut menegaskan, dirinya tidak ingin mendalami kasus ini lebih jauh, namun akan selalu siap membantu jika ada keluhan masyarakat.
“Jika ada masyarakat yang merasa dirugikan dan membutuhkan advokasi, kami siap untuk membantu,” tuturnya.
H. Achmad Fathoni juga mengingatkan, bahwa pendidikan di jenjang SD dan SMP sudah digratiskan sepenuhnya, sedangkan tingkat SMA bergantung pada kebijakan pemerintah daerah.
“Jika sudah ada kebijakan gratis, maka segala kendala atau kekurangan dalam pembiayaan harus dibahas secara transparan antara kepala sekolah, Dinas Pendidikan, dan DPRD,” terangnya.
“Kalau ada kekurangan anggaran, harus dibicarakan secara terbuka. Jangan sampai kekurangan itu dibebankan secara tidak transparan kepada wali murid. Partisipasi masyarakat boleh saja, tapi harus berdasarkan kemampuan dan keinginan, bukan dengan cara memaksa,” tambahnya.
H. Achmad Fathoni menyoroti, peran komite sekolah yang sering disalahgunakan untuk melegitimasi pungutan dan harus lebih dipertegas kembali untuk menghindari hal serupa.
“Komite sekolah itu seharusnya membela kepentingan wali murid, bukan menjadi alat untuk membenarkan pungutan liar. Jangan ada istilah pungli yang dilegalkan melalui lobi dengan komite sekolah,” tegasnya.
Dirinya menambahkan, jika sekolah membutuhkan dana tambahan, sebaiknya disampaikan secara transparan kepada wali murid.
“Misalnya, ada program tertentu dan anggaran dari Pemda belum mencukupi. Kalau wali murid ingin berpartisipasi, itu diperbolehkan, tetapi harus dilakukan secara terbuka dan tidak dipaksakan,” tukasnya.
“Yang sering jadi masalah adalah memaksakan hal yang sebenarnya tidak penting untuk dijadikan alasan pungutan. Ini yang harus dihindari,” tutupnya.
Sebelumnya, Kasubag Tata Usaha KCD Pendidikan Wilayah I, Cucu Salman mengucapkan, bahwa dirinya meminta pihak sekolah segera memberikan klarifikasi kepada orang tua siswa.
“Pertemuan dengan orang tua harus dilaksanakan maksimal dalam satu minggu. Kami akan terus memantau dan menunggu hasilnya. Jika ada pelanggaran, tindakan tegas akan diambil,” ucapnya Sabtu (11/1/25).
Cucu menuturkan, dirinya meminta agar pihak sekolah mengembalikan uang hasil pungli tersebut diperkirakan sebesar Rp 1 miliar rupiah.
“Saya khawatir hal tersebut menjadi konsumsi di masyarakat dan menimbulkan kesan buruk di dunia pendidikan, kami arahkan untuk mengembalikan kembali uang tersebut kepada orangtua siswa,” ujarnya.
“Pungutan dari orang tua siswa bervariasi, mulai dari Rp100 ribu hingga Rp3 juta, dengan rata-rata sekitar Rp2,6 juta per siswa,” sambungnya.
Namun, Cucu menilai penggunaan dana tersebut, terutama untuk makan siang guru, sangat tidak pantas.
“Kami menyayangkan pungutan ini, meskipun menurut pihak sekolah diperuntukkan bagi guru honorer. Ini tetap menciptakan narasi negatif di masyarakat,” tutupnya.
(pandu maulana)