Cibinong, SuaraBotim.Com — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor kembali menggelar rapat lanjutan terkait polemik lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan Hambalang timur oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) di Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Rapat ini digelar di Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Bogor yang seharusnya menampilkan data-data, kini belum sepenuhnya menghasilkan keputusan final, karena masih menunggu hasil kajian lebih lanjut dari dinas terkait.
Kepala Desa Sukawangi, Budiyanto menyampaikan, bahwa dalam rapat kali ini terdapat tiga poin penting yang menjadi fokus pembahasan.
“Intinya ada tiga hal yang dibahas. Pertama, Pemkab Bogor akan menindaklanjuti ke Bagian planologi untuk penutupan tapal batas antara tanah adat dan kawasan hutan, sehingga batas yang selama ini menjadi polemik bisa diperjelas,” kata Budiyanto kepada SuaraBotim.Com, Senin (30/6/25).
Budiyanto menambahkan, Pemkab Bogor berencana akan kembali menggelar rapat lanjutan di Kantor Desa Sukawangi, meskipun waktunya belum ditentukan karena masih dalam proses kajian dan koordinasi lintas instansi.
“Insyaallah Pemda akan rapat di kantor desa. Tapi belum bisa dipastikan kapan, karena menunggu hasil kajian dari beberapa dinas, terutama planologi dan akan dikoordinasikan juga dengan Gakkum Kemenhut,” jelasnya.
Dalam rapat tersebut juga terungkap bahwa pihak Perhutani masih menggunakan peta berdasarkan SK tahun 2022 yang menetapkan kawasan Desa Sukawangi sebagai bagian dari kawasan hutan khusus seluas 1.800 hektare. Namun, menurut Budiyanto, klaim tersebut belum berdasarkan data riil di lapangan.
“Peta Perhutani memang berdasarkan SK tahun 2022. Tapi itu belum berdasarkan kondisi nyata di lapangan. Maka dari itu, ke depan kita akan turun bersama ke lapangan untuk verifikasi bersama pimpinan rapat, termasuk dari Kementerian, CDK, dan tim lainnya,” pungkasnya.
Rencana verifikasi lapangan akan menjadi langkah penting dalam penyelesaian konflik lahan ini. Pemerintah desa berharap proses ini dapat membuka jalan menuju kejelasan status lahan yang selama ini menjadi perdebatan antara masyarakat adat, pemerintah daerah, dan pihak kehutanan.
(Pandu)