Gunung Putri, SuaraBotim.Com – Salahsatu murid di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Asy-Syifa Qolbu dinonaktifkan dari kegiatan belajar mengajar karena menunggak pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan biaya daftar ulang. Perlu diketahui, SDIT Asy-Syifa Qolbu terletak di Desa Tlajung Udik, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
Orang tua dari siswa yang dinonaktifkan Yamti mengaku, telah berusaha mencari solusi dengan pihak sekolah. Namun, sekolah tetap bersikukuh meminta minimal 75% dari total tunggakan agar anaknya bisa kembali mengikuti kegiatan belajar.
“Saya sudah beberapa kali ke sekolah, ketemu sama Bu Wulan katanya harus bayar 75%. Lalu saya ke Tata Usaha, juga tetap diminta 75%. Padahal pihak sekolah sudah pernah ke rumah melihat keadaan saya,” ungkapnya kepada SuaraBotim.Com melalui telepon seluler, Senin (17/3/25).
Yamti menambahkan, bahwa dirinya tidak menyepelekan kewajiban membayar SPP, namun saat ini kondisi ekonominya sedang sulit.
“Saya bawa uang satu juta ke sekolah, dan saya tanya anak saya bisa ikut KBM atau tidak. Saya bilang kalau bapaknya dapat THR, nanti kami bayar lagi. Tapi tetap tidak bisa. Malah saya disuruh tanda tangan pemberhentian, tapi saya tidak mau tanda tangan,” ucapnya.
Total tunggakan Yamti mencapai Rp11 juta lebih sampai bulan Juni, meskipun anaknya sudah tidak bersekolah sejak Februari 2024.
“Saya cuma ingin anak saya bisa ikut ujian dan lulus. Kalau ijazah mau ditahan karena belum bisa bayar, tidak apa-apa. Yang penting dia bisa ikut ujian,” ungkapnya.
Yamti kini masih berharap sekolah memberikan kebijakan yang lebih fleksibel agar anaknya bisa mengikuti ujian. Pasalnya, batas waktu pengajuan daftar ujian di sekolah tersebut adalah 20 Maret 2024.
“Setiap malam saya tidak bisa tidur memikirkan anak saya. Kasihan dia, sejak Februari terus bertanya ‘Mah, kapan aku bisa sekolah lagi?’,” tutupnya dengan nada sedih.
Menanggapi hal ini, Manager SDIT Asy-Syifa Qolbu, Abah Yayat menjelaskan, bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari sistem yang telah ditetapkan sekolah sejak awal.
“Setiap lembaga memiliki sistem. Saat pendaftaran, sudah ada perjanjian yang harus diikuti. Jadi kalau ada yang keluar atau dinonaktifkan, itu bukan keputusan sewenang-wenang, melainkan bagian dari aturan yang telah disepakati,” ujarnya.
Yayat mengungkapkan, bahwa total tunggakan orang tua siswa di sekolah ini mencapai hampir Rp500 juta. Kondisi ini menghambat operasional sekolah, termasuk pembayaran gaji guru dan peningkatan kualitas pendidikan.
“Kami melakukan identifikasi dan klarifikasi terhadap tunggakan yang ringan, sedang, dan berat. Kami juga sudah beberapa kali memberikan keringanan, bahkan membuat perjanjian bermaterai. Namun, banyak yang tidak menepati janji,” jelasnya.
Menurut Yayat, sekolah swasta memiliki konsekuensi finansial yang berbeda dibanding sekolah negeri.
“Kalau ingin pendidikan gratis, pemerintah sudah menyediakan sekolah negeri. Tapi jika memilih sekolah swasta, tentu ada konsekuensi yang harus dipahami,” tegasnya.
Hingga saat ini, belum ada titik temu antara pihak sekolah dan orang tua siswa terkait kebijakan pembayaran tunggakan ini.
(pandu)