Sukamakmur, SuaraBotim.Com – Kepala Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Budiyanto, melakukan audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) guna membahas polemik status lahan Desa Sukawangi yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut.
Pasalnya, seluas 1.800 hektare tanah di Desa Sukawangi di klaim sebagai kawasan hutan Hambalang Timur oleh Kemenhut.
Pemasangan stiker bernomor LK.02/PPK/PPNS/03/2025 tertanggal 15 Maret 2025 itu menandai dugaan tindak pidana kehutanan berupa pendudukan kawasan hutan secara tidak sah.
Hal ini memicu reaksi keras dari Pemerintah Desa Sukawangi yang mengklaim lahan tersebut sebagai milik masyarakat secara turun-temurun.
Kepala Desa Sukawangi, Budiyanto menyatakan, bahwa terdapat sekitar 2.000 bidang tanah yang telah masuk dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tahun 2022–2023. Masyarakat juga mengakui batas lahan hutan berdasarkan kearifan lokal yang dikenal dengan nama “Batas Kopi Sejajar”.
“Kami sudah menyurati Kemenhut dan mengajukan permintaan audiensi, tapi belum juga mendapat balasan. Kami juga telah melakukan dua kali audiensi dengan Pemkab Bogor untuk menyelesaikan persoalan ini,” ujar Budiyanto.
Budiyanto menambahkan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.6435/Menhut-VII/KuH/2014 kawasan hutan Gunung Hambalang Timur dan Barat ditetapkan seluas 8.961,98 hektare.
Namun, dalam SK Nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 yang mengatur pengawasan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus di beberapa provinsi termasuk Jawa Barat, Desa Sukawangi termasuk dalam kawasan seluas 1.800 hektare meskipun masyarakat telah menempati lahan tersebut sejak era 1950-an.
Pemerintah Desa dan warga Desa Sukawangi berharap agar proses penindakan oleh Gakkum dihentikan sementara dan dilakukan penataan ulang batas kawasan hutan dengan mempertimbangkan keberadaan permukiman serta penghidupan masyarakat.
“Kami tidak menolak hutan, tapi mohon pertimbangkan juga bahwa kami sudah lama tinggal di sini. Jangan sampai kami kehilangan tempat tinggal dan penghidupan hanya karena tumpang tindih aturan,” tegas Budiyanto.
Desa Sukawangi saat ini dihuni oleh 13.574 jiwa dalam 4.165 kepala keluarga (KK) dengan sebagian besar bergantung pada lahan tersebut untuk tempat tinggal dan mata pencaharian.
Menanggapi persoalan ini, Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Heryawan menyampaikan, pentingnya pendalaman terhadap status lahan di Desa Sukawangi dan desa-desa lain di sekitar kawasan hutan Jawa Barat.
“Ini bukan hanya soal Sukawangi. Di Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan daerah lainnya juga ada banyak desa yang menghadapi masalah serupa. Ketika kawasan hutan dipulihkan, maka sejumlah desa justru harus dihutankan kembali. Ini proses pemulihan, bukan pemutihan,” jelas pria yang kerap disapa Kang Aher, Jum’at (4/7/25).
Ia juga menyinggung, bahwa program kehutanan sosial menggantikan peran Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang dulu menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah, namun kini mulai hilang dan justru memunculkan gejolak baru.
“Undang-undang Cipta Kerja telah memasukkan urusan kehutanan, sehingga kami pun harus lebih akrab dengan regulasi ini. Namun yang jelas, harus ada jalan keluar untuk masyarakat yang telah tinggal puluhan tahun di tanah tersebut,” ujarnya.
Aher menekankan, pentingnya pendekatan yang adil dan manusiawi dalam menyikapi masalah ini, terlebih sebagian besar masyarakat telah memiliki surat AJB (Akta Jual Beli) dan terdaftar dalam program PTSL yang merupakan program nasional dari Presiden Joko Widodo.
Permasalahan ini diharapkan segera ditindaklanjuti oleh kementerian terkait, DPR RI, dan pemerintah daerah agar tidak menimbulkan keresahan sosial yang lebih luas di masyarakat.
(Pandu)