Cibinong, SuaraBotim.Com – Lembaga Studi Visi Nusantara Maju (LS Vinus) menyampaikan kritik tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Putusan tersebut dinilai menuai polemik dan berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Founder LS Vinus, Yusfitriadi, menyebut putusan MK itu dapat menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum dan konstitusi di Indonesia.
“Kalau keputusan MK dianggap inkonstitusional, ini menjadi preseden buruk bagi undang-undang lainnya. Artinya, kalau ada undang-undang yang dilanggar, kita tinggal uji saja ke MK. Ini membahayakan logika hukum kita,” ujar Yusfitriadi kepada SuaraBotim.Com, Rabu (3/7/25).
Kang Yus menegaskan, bahwa MK tidak boleh melahirkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang. Meskipun dalam perspektif substantif putusan itu dianggap progresif atau membawa dampak positif, tetap tidak boleh melanggar aturan hukum yang ada.
“MK tidak boleh melanggar Undang-Undang, apapun alasannya. Kalau keputusan MK melanggar UUD 1945, itu kontraproduktif dengan tugas MK sendiri yang seharusnya menguji undang-undang, bukan membuat tafsir yang melanggar konstitusi,” ungkapnya.
Yusfitriadi juga menyoroti, pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyebut pelaksanaan pemilu serentak di tahun yang sama sangat berat secara teknis.
Namun ia mengkritik sikap KPU yang seharusnya netral dan siap melaksanakan keputusan apapun yang diamanatkan undang-undang.
“KPU tidak seharusnya beropini soal berat atau ringannya tugas. Mereka sudah diseleksi untuk siap lahir batin melaksanakan pemilu. Kalau ada yang merasa berat, lebih baik tidak usah jadi anggota KPU,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan, posisi MK yang dianggap seperti pembentuk undang-undang karena memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum, padahal fungsi pembentukan undang-undang hanya dimiliki oleh DPR dan Pemerintah.
“Kenapa MK seolah-olah bisa membuat tafsir hukum yang bertentangan dengan UUD 1945? Itu berbahaya dan akan rumit dalam implementasinya,” ungkapnya.
Yusfitriadi juga menyoroti, sikap partai politik di parlemen. Saat ini, baru Partai NasDem yang menyatakan bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional, namun tidak disertai langkah konkret.
“Karena hakim MK dipilih oleh DPR, maka DPR punya hak dan kewajiban untuk memanggil MK. Presiden juga harus turun tangan agar persoalan ini jelas dan ada kepastian hukum,” tutupnya.
Sementara, Dari Akademisi Rafih Sri Wulandari mengatakan, bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi, yang kedaulatannya ada di tangan rakyat.
“Ada hal yang dilampaui oleh MK, melampaui fungsi dia sebagai penguji materi tetapi dia membuat norma, ini kan seharusnya ranahnya ada di legislatif,” tutupnya.
(Pandu)