Cibinong, SuaraBotim.Com – Pengamat kebijakan publik, Yusfitriadi, menilai gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah merupakan wujud kemarahan masyarakat atas sejumlah permasalahan mendasar.
Menurutnya, kondisi ini telah memicu krisis legitimasi terhadap lembaga negara, khususnya DPR dan aparat penegak hukum.
“Kita prihatin dengan situasi seperti ini, apalagi dengan banyaknya korban berjatuhan. Gas air mata sampai masuk ke kampus, itu memancing kemarahan publik,” ujarnya kepada SuaraBotim.Com, Rabu (3/9/25).
“Menyampaikan aspirasi adalah hak kedaulatan rakyat, namun jika aspirasi tidak tersampaikan secara langsung, perpecahan bisa terjadi. Kita harus tetap kritis, tapi aksi anarkis tidak bisa ditoleransi,” sambungnya.
Yusfitriadi menyebut, ada tiga akar masalah utama yang menjadi pemicu aksi besar-besaran di berbagai daerah, yang pertama kebijakan yang tidak pro rakyat.
Pertama, ia menyoroti sejumlah kebijakan DPR yang dinilai tidak transparan, seperti pengesahan undang-undang secara diam-diam serta inkonsistensi dalam menjalankan efisiensi anggaran.
“Publik kecewa ketika wakil rakyat berbicara soal efisiensi, tapi masih menambah struktur kementerian atau melakukan kunjungan kerja ke luar negeri tanpa hasil nyata,” ujarnya.
Kemudian, yang kedua, Kebijakan tunjangan rumah DPR. Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan ketidakpekaan wakil rakyat terhadap penderitaan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Setelah itu, yang ketiga, sikap represif aparat. Tindakan aparat yang dianggap berlebihan dalam menghadapi demonstrasi dinilai justru memperkeruh keadaan dan menambah ketidakpercayaan publik.
Lebih lanjut, Yusfitriadi melihat adanya empat lapisan dalam aksi massa yang terjadi belakangan ini.
“Seperti mahasiswa yang bergerak dengan nalar kritis akibat akumulasi masalah, guru dan tenaga pendidik yang ikut turun dengan orientasi berbeda, kelompok ojek online yang menuntut keadilan kasus tertentu dan pelajar serta kelompok gelap yang ditengarai menyusup dan memicu kericuhan, seperti pembakaran Gedung DPRD Makassar oleh orang berpakaian hitam,” paparnya.
“Di media sosial ada yang pura-pura pakai atribut ojol, padahal itu bagian dari skenario tertentu. Kita tidak bisa serta-merta menuding aksi mahasiswa anarkis, karena banyak provokator yang menyusup,” jelasnya.
Terlebih, dirinya menegaskan, dampak terbesar dari kondisi ini adalah krisis legitimasi dan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
“Fenomena seperti flexing kemewahan oleh anggota DPR, baik itu Sahroni, Eko, Nafa maupun publik figur seperti Uya Kuya, menambah rasa jijik masyarakat. Itu memicu ketidakpercayaan publik,” katanya.
Ia pun mengingatkan para wakil rakyat agar lebih menunjukkan empati, bukan justru memamerkan gaya hidup mewah.
“Ini pelajaran penting untuk parlemen. Berikanlah empati kepada rakyat. Aparat juga harus melindungi, bukan menindas. Dengan begitu, masyarakat bisa menilai apakah lima tahun ke depan DPR layak dipilih kembali atau tidak,” pungkasnya.
(Pandu)







